DAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN
Guru bidang : Pak Rohmat
Mapel : Agama
Proses Dakwah Secara Terang-terangan
Setelah tiga tahun berjalan dakwah Islam secara diam-diam, maka disuruhlah Nabi mengumumkan Islam dengan terang-terangan sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat asy-syu’ara’: 214. Berdasarkan ayat Allah tersebut Nabi Muhammad mengajak kaum keluarganya, Bani Hasyim untuk masuk Islam, akan tetapi mereka tidak menghiraukannya, bahkan pamannya Abu Lahab mencemooh Nabi Muhammad sehingga turunlah surat al-Lahab. Kemudian Rasulullah mengajak kaum Quraish untuk mengesakan Tuhan tiada sekutu bagi-Nya, berdasarkan ayat yang turun dalam surat al-Hijr: 94 mereka pun ada yang masuk Islam tetapi banyak pula yang menentanngnya.[2]
Setelah turun ayat ini, Rasulullah SAW, menyampaikan dakwahnya kepada seluruh lapisan masyarakat kota Mekah yang pluralistik, dari golongan bangsawan sampai golongan budak serta pendatang kota Mekah yang mempunyai agama berbeda dan berbagai suku. Untuk berdakwah secara terang-terangan ini, beliau mengambil bukit “shofa” sebagai tempat dakwahnya. Mula-mulanya beliau menyeru penduduk Mekkah lalu kemudian penduduk negeri yang lain. Dengan usahanya yang gigih. Hasil yang diharapkan mulai terlihat. Jumlah pengikut nabi yang tadinya hanya dua belasan orang semakin hari semakin bertambah. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja dan orang-orang yang tidak punya.
Dalam mensyiarkan Islam, Nabi melakukannya dengan strategi yang disesuaikan dengan peradaban dan cara berfikir bangsa Arab, yaitu:[3]
a. Nabi memperkenalkan tauhid kepada Allah sebagai pondasi kehidupan dalam arti yang menyeluruh. Ajaran tauhid ini tidaklah sebagai konsep dan sebatas bidang pengetahuan saja, tetapi tauhid yang fungsional dan terapan. Dalam arti, setelah seseorang beriman kepada Allah, maka sekaligus sikap keimanan tersebut diaplikasikan dalam bentuk kehidupan sehari-hari dan perjuangan membela agama Allah.
b. Nabi menggunakan strategi pentahapan yang jelas. Dimulai dari dakwah di lingkungan keluarga serta masyarakat sekitar yang mempunyai potensi untuk dapat dipergunakan dalam membantu dakwah. Seperti Beliau mengajak Ali putra pamannya, melibatkan Abu bakar sebagai mertua, mengawini Khadijah yang setia dan kaya, serta Umar sebagai pemimpin Quraish yang sangat disegani. Tahapan itu juga terlihat dalam bagaimana Beliau meyakinkan orang-orang secara sembunyi-sembunyi (bi al-sirr), kemudian secara terang-terangan (bi al-jahr) setelah keadaan dianggap memungkinkan untuk itu. Pentahapan itu juga dapat dilihat pada usaha-usaha beliau memba’iat mereka yang ingin bergabung dengan beliau, seperti tahapan perjanjian ‘Aqabah I yang diikuti oleh 12 orang dari Madinah, serta perjanjian ‘Aqabah II yang diikuti oleh 73 orang dari kota yang sama. Sehingga, dari pengikut yang sedikit tetapi kuat itu berkembang menjadi banyak seperti mata rantai.
c. Nabi mendayagunakan berbagai macam sumber potensi sahabat secara efektif. Sahabat yang mempunyai kekayaan lebih seperti Khadijah, Abu Bakar dan Utsman untuk mendanai dakwah. Mereka yang mempunyai pengaruh besar di kalangan Quraish seperti Umar bin Khattab dan Hamzah yang muslim, serta Abdul Munthalib dan Abu Thalib yang non-muslim, menyiapkan diri untuk menjadi perisai Nabi dari serangan musuh-musuh besarnya. Sebagian para sahabat yang mempunyai kelebihan intelektualitas seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud dan Zaid bin Tsabit berkhidmat dalam pengembangan ilmu-ilmu agama (tafsir), serta Abu Hurairah menekuni periwayatan hadits-hadits Nabi. Meskipun demikian, mereka juga bersatu mengangkat senjata bersama Nabi manakala keadaan memaksanya, sebagaimana mereka ikut berhijrah ketika hal itu menjadi keputusan Nabi melalui musyawarah.[4]